Tentang DPD HPI BALI
AWAL MULA KEPARIWISATAAN BALI dan sistim kepemanduan
Pariwisata Bali 1920 sampai awal kemerdekaan
Sampai pada awal abad ke 20 saat Bali ditaklukan secara penuh oleh Belanda, pintu masuk untuk orang barat dibuka dengan lebar dan ini juga menjadi tonggak awal masuknya wisatawan yang dimulai pada tahun 1920 an saat Kapal dagang Belanda KPM (Koninklijke Paketcart Maatsckapy) dengan jalur pelayaran Singapura, Batavia, Semarang, Surabaya, lalu singgah di pelabuhan Buleleng Bali dengan membawa rombongan turis dari Eropa.
Awalnya rute pelayaran dari kapal ini adalah untuk berdagang namun karena banyaknya permintaan untuk singgah di pelabuhan Buleleng maka jalur pelayaran ini diubah menjadi Bali Express untuk memenuhi permintaan dari pelancong yang ingin datang ke Bali. Serta membuka perwakilan resmi urusan pariwisata pertama di Bali bernama “Official Tourist Buerau” pada 1924. Turis yang datang ke Bali pada masa tersebut begitu ramai hingga Kapal Bali Express harus melakukan pelayaran sampai 18 kali pertahunnya.
Di antara para pelancong itu terdapat juga para seniman, pelukis, dan penulis asal eropa yang nantinya ikut andil dalam mempromosikan Bali di dunia Internasional. mereka diantaranya adalah Dr Gregor Krause yang ditugaskan langsung oleh Pemerintah Kolonial untuk mendokumentasikan pulau Bali melalui foto dan buku. Miguel Covarrubias dengan bukunya the Island of Bali tahun 1930, Mrs Menc (Ni Ketut Tantri) dengan bukunya Revolt In Paradise, juga yang paling dikenal adalah Walter Spies(salah satu pencipta Tari Kecak bersama Rudolf Bonnet, I Gusti Nyoman Lempad, Tjokorda Gde Agung Sukawati), Le Mayeur, dan Antonio Blanco. Beberapa dari mereka menetap dan menganggap Bali sebagai rumah mereka. Bahkan aktor komedi Charlie Chaplinjuga pernah berkunjung ke pulau Bali atas undangan dari Spies pada tahun 1939.
Setelahnya berita tentang keindahan dan uniknya budaya di Pulau Bali cepat menyebar dari mulut ke mulut di belahan Eropa. Nama Pulau Bali saat itu dikenal dengan Nama The Island of Gods. Dengan semakin bertambahnya kunjungan wisatawan ke pulau Bali pada Tahun 1930 di jantung kota Denpasar dibangunlah hotel pertama di Bali oleh Pemerintah Kolonial Belanda.[5] Pada masa ini pula jalur masuk ke pulau Bali tidak hanya lewat jalur laut saja tapi juga lewat jalur udara dengan dibukanya Bandar Udara Tubanpada tahun 1935, sekarang Bandara Internasional Ngurah Rai.
Kegiatan pariwisata di Bali sempat terhenti beberapa tahun pada masa Perang Dunia II dan Perang Kemerdekaan sampai Bergabungnya Pulau Bali ke dalam NKRI pada 17 Agustus 1950. Para wisatawan mancanegara kembali mengunjungi pulau Bali dan mulailah era pengelolaan pariwisata secara profesional dengan skala masif karena tidak hanya wisatawan dari mancanegara saja namun juga dari wisatawan domestik mulai melakukan perjalanan wisata di Bali.
Salah satunya dengan upaya Presiden Pertama Indonesia Ir Soekarno. Beliau menjadikan Bali sebagai tempat menerima tamu kenegaraan sekaligus memperkenalkan Bali lebih luas di mata dunia. Beberapa tamu negara tersebut diantaranya adalah Perdana Menteri India pertama Jawaharlal Nehru, Pemimpin Vietnam Utara Ho Chi Minh, sampai Presiden Amerika Jhon F. Kennedy. Atas gagasan Bung Karno pula di Tampaksiring pada tahun 1957 dibangun Istana Tampaksiring untuk menyambut Tamu Kenegaraan. Kemudian pada tahun 1963, Bung Karno pulalah yang memprakarsai didirikannya Hotel Bali Beach di pantai Sanur. Hotel ini nantinya akan menjadi bangunan tertinggi di Bali sampai saat ini, karena sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Kdh. Tk. I Bali tanggal 22 November 1971 Nomor 13/Perbang. 1614/II/a/1971. Isinya antara lain bahwa bangunan di Daerah Bali tingginya maksimal setinggi pohon kelapa atau 15 meter. Oleh pemerintah selanjutnya diikuti dengan rehabilitasi bandara Ngurah Rai pada tahun 1969 mempeluas bandara yang nantinya mempermudah dan memperbanyak rote penerbangan dari luar negeri .
Pada tahun 1973 SCETO ( Konsultan Pariwisata dari prancis )menyusun master Plan pariwisata bali yang yang merekomendasikan pengembangan Tourist resort di wilayah non produktif dan memiliki aksesibilitas tinggi .Akhirnya Nusa Dua menjadi pilihan ,karena memenuhi kreteria yang di tetapkan .
Masa keemasan Pariwisata Bali mengalami masa keemasan di tahun 1980-an
Seiring dengan dibangun dan diresmikannya Bali Beach Hotel pada tahun 1966 oleh Presiden RI pertama, Ir. Sukarno, ternyata berdampak sangat luas terhadap pembangunan kepariwisataan Bali terutama terhadap Pemandu Wisata atau Guide yang beroperasi di Bali Beach Hotel Denpasar.
Jumlah pemandu wisata saat itu sangat langka dan bisa dihitung dengan jari, mengingat penguasaan bahasa asing khususnya bahasa Inggris sangat terbatas. Pada masa itu, untuk mendapatkan tamu, pemandu wisata harus menjemput langsung ke Bandara Ngurah Rai dengan menyewa kendaraan sendiri. Hal itu mengingat belum adanya semacam Biro Perjalanan seperti sekarang ini yang juga mengatur kegiatan pemandu wisata .
Dalam melaksanakan kegiatannya, diantara para pramuwisata dulunya sangat tidak teratur dan sering berebut untuk mendapatkan turis. Hal itu sering terjadi mengingat belum adanya Asosiasi yang mengatur dan membina mereka dalam melaksanakan kegiatan pemanduan.
Berdasarkan alasan tersebut, dengan diprakarsai 12 orang pemandu wisata yang diketuai Ida Bagus Rata, Dosen di Universitas Udayana dengan difasilitasi Gede Riasa, Kepala Dinas Pariwisata Bali, menghimbau agar para pemandu wisata tergabung dalam satu wadah Asosiasi.
Bermula dari pertemuan tersebut lahirlah Persatuan Pramuwisata Bali, yang dalam bahasa Inggris sering disebut “Bali Guide Asscociation” (BGA) pada tahun 1969 yang diketuai Ida Bagus Rata, dengan Sekretarisnya Anak Agung Tenteram Wisnawa.
Pada tahun 1971, ada larangan bahwa sebagai dosen Universitas Udayana tidak diperbolehkan berkecimpung di dalam asosiasi swasta. Dari alasan itulah, maka jabatan ketua Persatuan Pramuwisata Bali yang disandang Ida Bagus Rata posisinya sangat dilematis, sehingga ia memutuskan mengundurkan diri dari jabatan Ketua Persatuan Pramuwisata Bali dan digantikan Kadek Yudanegara yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua.
Pada tahun 1974, Persatuan Pramuwisata Bali (BGA) mengadakan musyawarah pertama (Musda I) yang dihadiri 25 orang dari 90 anggota yang dilaksanakan di Gedung Merdeka (sebelah utara pura Jagatnatha Denpasar atau Kantor Dirparta Denpasar sekarang, RED).
Pada Musda I terpilihlah sebagai Ketua Umum Anak Agung Tenteram Wisnawa dengan Sekretaris Rizani Idsa Kamanda. Kegiatan BGA antara lain adalah : Memberi pendidikan pengetahuan mengenai berbahasa asing dan tatacara membawa turis, mengunjungi anggota yang sedang sakit dan kegiatan olahraga.
Kegiatan Pemandu wisata saat itu terus mengalami peningkatan seiring bertambahnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali. Maka dari itu dibentuklah Tour Guide Course untuk meningkatkan SDM Pramuwisata di Bali yang didukung Tirto Sudiro yang menjadi Dirjen Pariwisata saat itu.
Tour Guide Course menghasilkan 10 (sepuluh) Kode Etik Pramuwisata setelah mendapat masukan dari Professor Tito (Italia). Menjelang akan diadakannya konferensi PATA (Pacific Asia Travel Association) di Sanur Bali Beach, lima orang anggota BGA mendapat kehormatan dikirim ke Jakarta untuk dididik tentang kepariwisataan guna persiapan PATA. Mereka dididik mengikuti kursus di LPEM UI (Lembaga pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia) di Jakarta.
Dalam kegiatan PATA yang berlangsung di Bali, BGA berperan aktif mengurus para delegasi PATA. BGA mulai dikenal secara International berkat goresan tinta wartawan Mark Robby dari Asia Pacific Travel News. Dibawah kepemimpinan Anak Agung Tenteram Wisnawa, pelajaran yang berhasil diterapkan disebut dengan CATUR TERTIB meliputi : Tertib Organisasi, Tertib Asosiasi, Tertib Administrasi dan Tertib berkesinambungan.
Sekretariat BGA saat itu bertempat di Hotel Shanti, jalan Patih Jelantik. Dalam kegiatan International, BGA telah berpartisipasi aktif dalam penanganan Delegasi Konferensi Asian Film Festival yang ke 26. Festival yang berlangsung di Bali dari tgl 30 Juni – 3 Juli 1980.
Pada tanggal 26-27 Maret 1983, Persatuan Pramuwisata Bali mengadakan Musyawarah Daerah ke II (Musda II). Pada Musda ke II ini, Direktur Jenderal Pariwisata saat itu Joop Ave berkeinginan agar Pramuwisata membentuk wadah Assosiasi Pramuwisata di tingkat Nasional dan seluruh Indonesia. Untuk tujuan tersebut, pada Musda ke II Persatuan Pramuwisata Bali, Dirjen Pariwisata meminta kepada panitia Musda untuk mengundang Assosiasi Pramuwisata dari daerah lain di Indonesia untuk hadir dalam Musyawarah Daerah II Persatuan Pramuwisata Bali.
Musda II Persatuan Pramuwisata Bali dihadiri Assosiasi Pramuwisata dari: Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, DIY Yogyakarta, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Lombok, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Musda II Persatuan Pramuwisata Bali itu disebut “Bali Plus Nine”, artinya bali ditambah Sembilan Destinasi Pariwisata. Dalam Musda ini lahirlah Assosiasi Pramuwisata Nasional disebut dengan: Himpunan Duta Wisata Indonesia (HDWI).
Atas kesepakatan semua peserta yang hadir dalam Musda II itu, HDWI merupakan Himpunan Duta Wisata Indonesia yang berkedudukan di seluruh Tanah air Indonesia dan tidak ada lagi Himpunan Pramuwisata selain yang telah disepakati bersama yang sekaligus menetapkan bahwa Musda II Persatuan Pramuwisata bali dianggap sebagai Musyawarah Nasional I (pertama) Himpunan Duta Wisata Indonesia (HDWI) dengan terpilihnya Anak Agung Tenteram wisnawa sebagai Ketua Umum dengan Sekretaris Rizani idsa Karnanda, dibantu Wakil Ketua Ngurah Ardika dan S. Karmawandari Persatuan Pramuwisata Istana Bogor.
Pada saat terbentuk, HDWI belum memiliki AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga), maka pengurus terpilih melakukan rapat kerja nasional pertama (Rakernas I) HDWI di Surabaya yang pendanaannya dibantu Wali Kota Surabaya. Untuk pelaksanaan Rakernas HDWI I, Ketua Umum HDWI menunjuk HDWI Jawa Timur sebagai Panitia Lokal dalam mewujudkan Rakernas. Dalam pelaksanaan Rakernas ada perbedaan pendapat mengenai pendanaan yang tidak transparan. Tanpa sepengetahuan Ketua Umum HDWI Anak Agung Tenteram Wisnawa akhirnya Rakernas dibatalkan. HDWI selama dipimpin AA Tenteram Wisnawa telah melantik empat pengurus DPD HDWI di tingkat provinsi yaitu Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Barat dan Jawa Timur.
Dengan adanya kemelut di tubuh Panitia Rakernas HDWI I di Surabaya, maka pemerintah sangat prihatin dengan keberadaan HDWI. Oleh karena itu, Dirjen Pariwisata mengambil insiatif memprakarsai Temu Wicara nasional di Taman Chandra Wilwatikta Pandaan Jawa Timur yang dihadiri seluruh Kepala Dinas Pariwisata di Indonesia dan 15 Assosiasi Pramuwisata.
Temu Wicara Nasional ini berlangsung pada tanggal 29 – 30 Maret 1988 bertujuan Mempersatukan kembali Assosiasi Pramuwisata seluruh Indonesia dalam satu wadah. Atas usul Dirjen Pariwisata, maka HDWI dirubah namanya menjadi HIMPUNAN PRAMUWISATA INDONESIA yang disingkat (HPI).
Pengubahan nama HDWI menjadi HPI dengan dasar pertimbangan bahwa kata DUTA WISATA terlalu berat untuk dipertanggung-jawabkan yang bertugas setaraf dengan Duta Besar untuk Negara sahabat.
Berdasarkan kesepakatan bersama, maka ditunjuklah Kepala Dinas Pariwisata Sumatera Barat dan Sumatera Selatan untuk menjadi penyelenggara MUNAS I Himpunan Pramuwisata Indonesia guna membentuk kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat HPI sekaligus membahas AD/ART HPI. Hasil keputusan bahwa MUNAS HPI I akan diselenggarakan di Palembang dengan alasan bahwa Palembang tempat lahirnya dan kejayaan Kerajaan Sriwijaya pada masa lampau.
Pada tanggal 4 Oktober 1988 Munas I HPI digelar di Palembang dengan agenda utama Menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HPI serta memilih Dewan Pimpinan Pusat HPI untuk periode 1988 – 1993.
Sementara itu di Jakarta, perkembangan pramuwisata sudah ada sejak tahun 1964. Para pramuwisata tersebut bertugas untuk melayani kapal pesiar. Untuk menjaga perebutan tamu wisatawan, maka pada tahun 1965 dibentuklah Jakarta Guide Association (JGA) yang diketuai alm Syamsuarni. Selain Pramuwisata Bali, keberadaan JGA tersebut juga dipersiapkan untuk konferensi PATA di Jakarta dengan melalui pendidikan oleh Badan Pengembangan Pariwisata Nasional (Bapparnas) pada tahun 1978
Organisasi JGA mulai diterpa polemik karena permasalahan pramuwisata senior dan junior, sehingga pecah. Akhirnya Persatuan Pramuwisata Jakarta menghadiri pembentukkan HDWI dengan Ketua Wisnu yang muncul dari guide Amato Club (Kelompok yang dididik Prof Amato dari Italia).
Pada tahun 1987, 3 kelompok guide Jakarta yang terpecah bergabung dan mendirikan organisasi yang bernama ASPITA (Asosiasi Pramuwisata Jakarta) dengan ketua alm Syamsuarni Sam dan Sekretaris Jan L. Simandjuntak. Mereka hadir mewakili Jakarta di munas penyatuan pramuwisata di Palembang dan bergabung dengan pramuwisata seluruh Indonesia antara lain, pramuwisata Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua dan lain-lain dan resmi menjadi HPI serta menyusun kode etik pramuwisata juga AD & ART HPI dgn ketua bp Tentrem Wisnawa dan sekjen Jan L Simandjuntak pada tahun 1989 di Banjarmasin.
Pada Rakernas HPI 1 disepakati lambang pramuwisata adalah burung cendrawasih dengan alasan :
- 1. khas Indonesia,
- 2. komposisi warna bulu serasi
- 3. burung yg paling peka terhadap perubahan
- 4. Menurut agama Hindu burung yg membawa arwah ke sorga.